LAPORAN PRAKTIKUM
MORFOLOGI DAN KLASIFIKASI TANAH
NAMA : RASYID TOBING
NO. BP : 1210212078
KELAS : Agro
ASISTEN : Dino Febi Pratama
PENJAB PRAKTIKUM : Dr.
Juniarti, SP, MP
PROGRAM
STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
ANDALAS
PADANG
2014
KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Praktikum Morfologi dan
Klasifikasi Tanah. Tidak lupa shalawat beriring salam penulis kirimkan kepada
Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman kebodohan sampai ke zaman
yang berilmu pengetahuan seperti yang kita rasakan pada saat ini.
Selesainya
laporan ini tidak terlepas dari bimbingan dan bantuan dari dosen dan asisten
Morfologi dan Klasifikasi Tanah serta bantuan moril dan doa dari keluarga serta
partisipasi dari teman-teman praktikan lainnya. Atas semuanya penulis ucapkan
terima kasih.
Penulis
juga berharap laporan ini dapat bermanfaat bagi penulis terutama dan bagipara
pembaca nantinya. Jika terdapat kesalahan dan kekurangan yang ada pada Laporan
Morfologi dan Klasifikasi Tanah ini, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Dari itu semua, penulis meminta kepada pembaca atas kritik dan sarannya agar
laporan ini dapat mencapai kesempurnaan. Atas kritik dan sarannya penulis
ucapkan terima kasih.
Padang, 05 Juni 2014
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………………………..
DAFTAR ISI ………………………………………………………………
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang …………………………………………………..
1.2. Tujuan ……………………………………………………………
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………..
BAB III
BAHAN DAN METODA
3.1. Waktu dan Tempat ……………………………………………..
3.2. Alat dan Bahan …………………………………………………
3.3. Cara Kerja ………………………………………………………
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil ……………………………………………………………
4.2. Pembahasan ……………………………………………………
BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan …………………………………………………….
5.2. Saran ……………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Tanah merupakan salah satu komponen
terpenting dalam kehidupan di bumi ini, baik untuk bidang kehutanan, pertanian,
perkebunan maupun bidang-bidang lainnya. Karena tanah sebagai media untuk
tumbuh berbagai tanaman maupun pohon, selain itu tanah juga dimanfaatkan oleh
manusia untuk pembangunan contoh tanah berpasir dan tanah berliat (bahan utama
untuk batu bata). Selain itu, tanah dapat didefinisikan lapisan permukaan bumi
yang secara fisik berfungsi sebagai tempat tumbuh & berkembangnya perakaran
penopang tegak tumbuhnya tanaman dan menyuplai kebutuhan air dan udara; secara
kimiawi berfungsi sebagai gudang dan penyuplai hara atau nutrisi (senyawa
organik dan anorganik sederhana dan unsur-unsur esensial seperti: N, P, K, Ca,
Mg, S, Cu, Zn, Fe, Mn, B, Cl); dan secara biologi berfungsi sebagai habitat
biota (organisme) yang berpartisipasi aktif dalam penyediaan hara tersebut dan
zat-zat aditif (pemacu tumbuh, proteksi) bagi tanaman, yang ketiganya secara
integral mampu menunjang produktivitas tanah untuk menghasilkan biomassa dan
produksi baik tanaman pangan, tanaman obat-obatan, industri perkebunan, maupun
kehutanan.
Tanah tersusun atas empat komponen penyusunnya, yaitu: bahan padatan (berupa bahan mineral), bahan lain (berupa bahan organik, air, udara), Bahan tanah tersebut rata-rata 50%, bahan padatan (45% bahan mineral dan 5% bahan organik), 25% air dan 25% udara.
Tanah mempunyai ciri khas dan sifat-sifat yang berbeda-beda antara tanah di suatu tempat dengan tempat yang lain. Sifat-sifat tanah itu meliputi fisika dan sifat kimia. Beberapa sifat fisika tanah antara lain tekstur, struktur dan kadar lengas tanah. Untuk sifat kimia menunjukkan sifat yang dipengaruhi oleh adanya unsur maupun senyawa yang terdapat di dalam tanah tersebut. Beberapa contoh sifat kimia yaitu reaksi tanah (pH), kadar bahan organik dan Kapasitas Tukar Kation (KTK).
Tanah tersusun atas empat komponen penyusunnya, yaitu: bahan padatan (berupa bahan mineral), bahan lain (berupa bahan organik, air, udara), Bahan tanah tersebut rata-rata 50%, bahan padatan (45% bahan mineral dan 5% bahan organik), 25% air dan 25% udara.
Tanah mempunyai ciri khas dan sifat-sifat yang berbeda-beda antara tanah di suatu tempat dengan tempat yang lain. Sifat-sifat tanah itu meliputi fisika dan sifat kimia. Beberapa sifat fisika tanah antara lain tekstur, struktur dan kadar lengas tanah. Untuk sifat kimia menunjukkan sifat yang dipengaruhi oleh adanya unsur maupun senyawa yang terdapat di dalam tanah tersebut. Beberapa contoh sifat kimia yaitu reaksi tanah (pH), kadar bahan organik dan Kapasitas Tukar Kation (KTK).
Morfologi dan klasifikasi tanah
adalah ilmu yang mempelajari proses-proses pembentukan tanah dan faktor-faktor
pembentuknya, klasifikasi tanah, serta penggunaan klasifikasi tanah, serta
penggunaan klasifikasi dalam survai tanah. Dalam praktikum kali ini akan
mengklasifikasi tanah berdasarkan profil tanah yang diamati secara langsung
dilapangan. Profil tanah adalah penampang vertikal dari tanah yang menunjukan
susunan horizon tanah.
Dinamika dan evolusi alam ini
terhimpun dalam definisi bahwa tanah adalah bahan mineral yang tidak
padat (unconsoildated) terletak di permukaan bumi, yang telah dan akan tetap
mengalami perlakuan dan dipengaruhi oleh faktor-faktor genetik dan
lingkungan yang meliputi bahan induk, iklim (termasuk kelembaban dan suhu),
organisme (makro dan mikro) dan topografi pada suatu priode waktu tertentu.
Satu ciri pembeda utama adalah tanah ini secara fisik, kimiawi dan
biologis, serta ciri–ciri lainnya umumnya berbeda di banding bahan
induknya, yang variasinya tergantung pada faktor-faktor pembentuk tanah, jenis-
jenis tanah serta horizon–horizon tanah tersebut.
Secara vertikal tanah
berdifferensiasi membentuk horizon-horizon (lapisan-lapisan) yang berbeda -
beda baik dalam morfologis seperti ketebalan dan warnanya, maupun karakteristik
kimia, fisik dan biologis masing-masing.
Sifat morfologi tanah
adalah sifat-sifat tanah yang dapat diamati dan dipelajari di lapang. Sebagian
dari sifat-sifat morfologi tanah merupakan sifat-sifat fisik dari tanah
tersebut. Batas suatu horison dengan horison yang lainnya dalam suatu profil
tanah dapat terlihat jelas atau baur. Tanah terbentuk dari pencampuran komponen
penyusun tanah yang bersifat heterogen dan beraneka. Ada 4 komponen utama
penyusun tanah mineral yang tidak dapat dipisahkan dengan pengamatan mata
telanjang. Komponen tanah tersebut dipilah menjadi tiga fase penyusun tanah, yakni:
(1) fase padat : bahan mineral dan bahan organik; (2) fase cair : lengas tanah
dan air tanah; serta (3) fase gas : udara tanah. komposisi tanah berdasarkan
volume tanah, masing-masing komponen hanya perkiraan (% volume). Komponen
mineral adalah semua jenis bahan padat hasil pelapukan batuan induk, termasuk
mineral primer, mineral sekunder, dan bahan amorf yang mempunyai bermacam-macam
ukuran dan komposisi. (1) ukuran : pasir (2000-50 µm), debu (50-2 µm), dan
lempung (< 2 µm). (2) komposisi mineralogi : (a) pasir/debu : feldspar,
kuarsa, hornblende, biotit, dan lain-lain; (b) lempung : kaolinit,
monmorillonit, illit, bentonit; (c) amorf : alofan, imogolit, dan oksida.
Komponen organic terdiri atas fauna dan flora tanah, perakaran tanaman, serta
hasil dekomposisi/peruraian sisa vegetasi atau hewan sebagai hasil kegiatan
mikroorganisme sehingga selalu terjadi alihrupa komponen tanah.
Morfologi tanah adalah
sifat tanah yang dapat diamati dan dipelajari di lapang yang menunjukan profil
tanah kearah dalam. Sebagian sifat morfologi tanah merupakan sifat- sifat fisik
dari tanah tersebut. Hal ini penting untuk diamati karena akar tanaman
berjangkar ditempat tersebut. Semakin baik akar berjangkar pada umumnya
pertumbuhan tanaman semakin baik dan sebaliknya.Sifat morfologi tanah bisa
sangat menentukan pertumbuhan tanaman misalnya ketebalan top soil,kedalaman
efektif, batas horizon tanah, warna tanah, tekstur, struktur tanah serta
tingkat perkembangan struktur tanah, perakaran, relief, lereng, fisiografi
tanah. Dari sifat- sifat morfologi tersebut tergambar potensi tanah untuk
digunakan sebagai media tumbuh tanaman.
Klasifikasi
tanah memiliki berbagai versi. Terdapat kesulitan teknis dalam melakukan
klasifikasi untuk tanah karena banyak hal yang memengaruhi pembentukan tanah.
Selain itu, tanah adalah benda yang dinamis sehingga selalu mengalami proses
perubahan. Tanah terbentuk dari batuan yang aus/lapuk akibat terpapar oleh dinamika di lapisan
bawah atmosfer, seperti dinamika iklim, topografi/geografi, dan aktivitas organisme
biologi.
Intensitas dan selang waktu dari berbagai faktor ini juga berakibat pada
variasi tampilan tanah.
Dalam melakukan
klasifikasi tanah para ahli pertama kali melakukannya berdasarkan ciri fisika dan kimia, serta dengan
melihat lapisan-lapisan yang membentuk profil tanah. Selanjutnya,
setelah teknologi jauh berkembang para ahli juga melihat aspek batuan dasar
yang membentuk tanah serta proses pelapukan
batuan yang kemudian memberikan ciri-ciri khas tertentu pada tanah yang
terbentuk.
Berdasarkan
kriteria itu, ditemukan banyak sekali jenis tanah di dunia. Untuk
memudahkannya, seringkali para ahli melakukan klasifikasi secara lokal. Untuk
Indonesia misalnya dikenal sistem klasifikasi Dudal-Soepraptohardjo (1957-1961) yang
masih dirujuk hingga saat ini di Indonesia untuk kepentingan pertanian,
khususnya dalam versi yang dimodifikasi oleh Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimatologi (Puslittanak) pada tahun 1978
dan 1982.
Pada tahun 1975
dirilis sistem
klasifikasi USDA (Departemen Pertanian AS).
Sistem ini dibuat karena sistem-sistem klasifikasi lama saling tumpang tindih
dalam penamaan akibat perbedaan kriteria. Dalam pemakaiannya, sistem USDA
memberikan kriteria yang jelas dibandingkan sistem klasifikasi lain, sehingga
sistem USDA ini biasa disertakan dalam pengklasifikasian tanah untuk
mendampingi penamaan berdasarkan sistem FAO atau PPT (Pusat Penelitian Tanah).
Kelemahan dari sistem ini, khususnya untuk negara berkembang, adalah
kriterianya yang sangat mendasarkan pada analisis laboratorium
yang rinci, sehingga para praktisi sulit untuk mendefinisikan langsung di
lapangan. Walaupun demikian, sistem USDA sangat membantu karena memakai sistem
penamaan yang konsisten.
Untuk
komunikasi di antara para ahli tanah dunia, Organisasi Pangan dan Pertanian
(FAO) telah mengembangkan sistem klasifikasi tanah pula sejak 1974. Pada tahun
1998 kemudian disepakati dipakainya sistem klasifikasi WRB
dari World Reference Base for Soil
Resources, suatu proyek bentukan FAO, untuk menggantikan sistem
ini. Versi terbaru dari sistem WRB dirilis pada tahun 2007.
1.2.
Tujuan
Mengamati dan mendeskripsi secara
langsung profil tanah dan sifat fisik tanah di lapangan serta
mengklasifikasikan jenis tanah.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
Keragaman sifat tanah secara alamiah
adalah akibat dari faktor dan proses pebentukannya mulai dari bahan induk
berkembang menjadi tanah pada berbagai kondisi lahan. Sehubungan dengan
tingginya keragaman tanah tersebut maka informasi yang lebih objektif tentang
kesuburan tanah sangat diperlukan untuk lebih mengarahkan pengelolaan tanahnya.
Tanah yang subur akan memiliki nilai status kesuburan yang tinggi, sehingga
upaya pemeliharaannya akan dapat dilakukan secara mudah, sedangkan pada tanah
kurus nilai kesuburannya yang rendah akan memerlukan pemeliharaan yang lebih
intensif (Adiwiganda, 1998).
Entisol adalah tanah yang cenderung untuk berasal baru.
Tanah ini ditandai dengan kemudaannya dan tidak adanya horizon genesis alami
atau hanya mempunyai permulaan horizon. Konsep pusat Entisol adalah tanah di
dalam regolith yang dalam atau bumi tanpa horizon kecuali barangkali suatu
lapisan bajak. Akan tetapi, beberapa Entisol mempunyai horizon plagen, agrik
atau albik, dan beberapa mengandung batu keras yang dekat dengan permukaan
(Foth, 1994).
Entisol adalah tanah yang muda (belum berkembang) dan
dangkal, dicirikan oleh profil A/C atau A/R. Tanah ini masih belum sempurna dan
memiliki profil yang horizon B-nya belum berkembang. Tanah tidak memiliki
banyak horizon hanya berupa lapisan-lapisan tanah, karena beberapa alasan
seperti waktu pembentukannya masih baru, berada pada lereng atau pada slope
yang tererosi, menerima deposit (endapan) banjir, dan sebagainya. Sebagai
contoh tanah-tanah endapan sepanjang sungai, tanah berpasir lepas di lereng
atas dan bawah, daerah volkan atau tanah pasir pantai laut yang lepas dan belum
membentuk struktur tanah (Musa, dkk, 2006).
Sifat morfologi tanah
adalah sifat-sifat tanah yang dapat diamati dan dipelajari di lapangan.
Sebagian sifat dari morfologi tanah merupakan sifat – sifat fisik dari tanah
tersebut (Sarwono,2010).
Beberapa Inceptisol
terdapat dalam keseimbangan dengan lingkungan dan tidak akan matang bila
lingkungan tidak berubah. Beberapa inceptisol yang lain telah dapat diduga arah
perkembangannya apakah ke ultisol, alfisol, atau tanah-tanah yang lain
(Hardjowigeno, 2003)
Inceptisol adalah
tanah-tanah yang kecuali dapat memilki epipedon okrik dan horizon albik seperti
yang dimilki tanah entisol juga mempunyai beberapa sifat penciri lain (misalnya
horizon kambik) tetapi belum memenuhi syarat bagi ordo tanah yang lain
(Hardjowigeno, 2007).
Salah satu penciri
terpenting bagi inceptisol adalah ditemukannya horizon kambik pada kedalaman
kurang lebih 100 cm. Apabila horizon kambik tidak ditemukan, tanah dapat
diklasifikasikan juga sebagai inceptisol bila mempunyai horizon klasik,
petroklasik, duripan (Munir, M.1996).
Tanah Entisol merupakan tanah yang relatif kurang
menguntungkan untuk pertumbuhan tanaman, sehingga perlu upaya untuk meningkatkan
produktivitasnya dengan jalan pemupukan. Sistem pertanian konvensional selama
ini menggunakan pupuk kimia dan pestisida yang makin tinggi takarannya.
Peningkatan takaran ini menyebabkan terakumulasinya hara yang berasal dari
pupuk/pestisida di perairan maupun air tanah, sehingga mengakibatkan terjadinya
pencemaran lingkungan. Tanah sendiri juga akan mengalami kejenuhan dan
kerusakan akibat masukan teknologi tinggi tersebut. Atas latar belakang
tersebut mulai dikembangkan sistem pertanian organik yang dahulu telah lama
dilakukan oleh nenek moyang kita. Beberapa petani di Sleman dan Magelang telah
melakukannya, sementara yang lain belum tertarik karena belum mengetahui
manfaatnya terutama terhadap perbaikan sifat tanah (Foth, 1994).
Pada umumnya kandungan
BO rendah sehingga memerlukan input yang cukup tinggi. Daerah
penyebarannya di daerah tipe Afa-ama (menurut K Koppen). Menurut Schimidt
Ferguson pada tipe hujan A, B, dan C dengan curah hujan 2000-7000 m/th, tanpa
mempunyai bulan kering yang kurang dari 3 bulan. Tanah ini terletak di daerah
abutuf dan vulkan, pada ketinggian 10-10.000 m dpl (Sarief, 1985).
Tanah regosol/entisol tidak ditentukan oleh iklim atau
pembentukan tanah khusus, tetapi oleh sifat bahan induknya. Tanah ini biasa
dijumpai pada lereng yang curam, perkembangannya lemah umumnya kurang berarti
untuk pertanian. Tanah ini terdapat di atas endapan mineral lunak yang dalam
dan tidak berbatu besar, sebagian besar didaerah gumuk loess dan glasial yang
lerengnya curam (Buckman, 1982).
Di Indonesia tanah Entisol banyak diusahakan untuk areal
persawahan baik sawah teknis maupun tadah hujan pada daerah dataran rendah.
Tanah ini mempunyai konsistensi lepas-lepas, tingkat agregasi rendah, peka
terhadap erosi dan kandungan hara tersediakan rendah.Potensi tanah yang berasal
dari abu vulkan ini kaya akan hara tetapi belum tersedia, pelapukan akan
dipercepat bila terdapat cukup aktivitas bahan organik sebagai penyedia
asam-asam organik (Tan, 1986).
Inceptisols adalah tanah yang belum matang (immature) dengan
perkembangan profil yang lebih lemah dibanding
dengan tanah matang, dan masih banyak
menyerupai sifat bahan induknya. Penggunaan Inceptisolss untuk pertanian atau
nonpertanian adalah beraneka ragam. Daerah-daerah yang berlereng curam atau
hutan, rekreasi atau wildlife, yang berdrainase buruk hanya untuk tanaman
pertanian setelah drainase diperbaiki (Hardjowigeno, 1993).
Salah satu penciri terpenting bagi inceptisol adalah
ditemukannya horizon kambik pada kedalaman kurang lebih 100 cm. Apabila horizon
kambik tidak ditemukan, tanah dapat diklasifikasikan juga sebagai inceptisol
bila mempunyai horizon klasik, petroklasik, duripan. Apabila tidak diketemukan
horizon maka tanah tersebut bukan termasuk dalam ciri-ciri inceptisol (Kurnia,
2004).
Inceptisols yang banyak dijumpai pada tanah sawah memerlukan
masukan yang tinggi baik untuk masukan anorganik (pemupukan berimbang N, P, dan
K) maupun masukan organik (pencampuran sisa panen kedalam tanah
saat pengolahan tanah, pemberian pupuk kandang atau pupuk hijau)
terutama bila tanah sawah dipersiapkan untuk tanaman palawija setelah padi. Kisaran
kadar C-Organik dan kapasitas pertukaran kation (KPK) dalam
Inceptisols dapat terbentuk hampir di semua
tampat, kecuali daerah kering, mulai dari kutub sampai tropika
(Munir, 1996).
Inceptisols dapat dibedakan berdasarkan great groupnya.
Salah satu great group dari Inceptisols adalah Tropaquepts. Tropaquepts adalah
great group dari ordo tanah Inceptisols dengan sub ordo Aquept yang
memiliki regim suhu tanah isomesik atau lebih panas. Aquept
merupakan tanah-tanah yang mempunyai rasio natrium
dapat tukar (ESP) sebesar 15 persen atau lebih (atau rasio adsorpsi natrium,
(SAR) sebesar 13 persen atau lebih pada setengah atau lebih volume tanah di
dalam 50 cm dari permukaan tanah mineral (Foth, 1991).
Inceptisols adalah tanah-tanah yang kecuali dapat memilki
epipedon okrik dan horizon albik seperti yang dimilki tanah Entisols juga
mempunyai beberapa sifat penciri lain (misalnya horizon kambik) tetapi belum
memenuhi syarat bagi ordo tanah yang lain. Beberapa Inceptisols terdapat dalam
keseimbangan dengan lingkungan dan tidak akan matang bila lingkungan tidak
berubah. Beberapa Inceptisols yang lain telah dapat diduga arah perkembangannya
apakah ke ultisols, Alfisols, atau tanah-tanah yang lain (Hardjowigeno, 2003).
Salah satu penciri terpenting bagi Inceptisols adalah
ditemukannya horizon kambik pada kedalaman kurang lebih 100 cm. Apabila horizon
kambik tidak ditemukan, tanah dapat diklasifikasikan juga sebagai Inceptisols
bila mempunyai horizon klasik, petroklasik, duripan. Apabila tidak diketemukan
horizon maka tanah tersebut bukan termasuk dalam ciri-ciri Inceptisols (Munir,
M.1996).
Tanah Ultisol memiliki
kemasaman kurang dari 5,5 sesuai dengan sifat kimia, komponen kimia tanah yang
berperan terbesar dalam menentukan sifat dan ciri tanah umumnya pada kesuburan
tanah. Nilai pH yang mendekati minimun dapat ditemui sampai pada kedalaman
beberapa cm dari dari batuan yang utuh (belum melapuk). Tanah-tanah ini kurang
lapuk atau pada daerah-daerah yang kaya akan basa-basa dari air tanah pH
meningkat pada dan di bagian lebih bawah solum (Hakim,dkk. 1986).
Tanah Ultisol sering
diidentikkan dengan tanah yang tidak subur, tetapi sesungguhnya bisa
dimanfaatkan untuk lahan pertanian potensial, asalkan dilakukan pengelolaan
yang memperhatikan kendala (constrain) yang ada pada Ultisol ternyata dapat
merupakan lahan potensial apabila iklimnya mendukung. Tanah Ultisol memiliki
tingkat kemasaman sekitar 5,5 (Munir, 1996).
Untuk meningkatkan
produktivitas Ultisol, dapat dilakukan melalui pemberian kapur, pemupukan,
penambahan bahan organik, penanaman tanah adaptif, penerapan tekhnik budidaya
tanaman lorong (atau tumpang sari), terasering, drainase dan pengolahan tanah
yang seminim mungkin. Pengapuran yang dimaksudkan untuk mempengaruhi sifat
fisik tanah, sifat kimia dan kegiatan jasad renik tanah. Pengapuran pada
Ultisol di daerah beriklim humid basah seperti di Indonesia tidak perlu
mencapai pH tanah 6,5 (netral), tetapi sampai pada pH 5,5 sudah dianggap baik
sebab yang terpenting adalah bagaimana meniadakan pengaruh meracun dari
aluminium dan penyediaan hara kalsium bagi pertumbuhan tanaman (Hakim,dkk,
1986).
Tanah ini umumnya
berkembang dari bahan induk tua. Di Indonesia banyak ditemukan di daerah dengan
bahan induk batuan liat. Tanah ini merupakan bagian terluas dari lahan kering
di Indonesia yang belum dipergunakan untuk pertanian. Problem tanah ini adalah
reaksi masam, kadar Al tinggi sehingga menjadi racun tanaman dan menyebabkan
fiksasi P, unsure hara rendah, diperlukan tindakan pengapuran dan pemupukan,
keadaan tanah yang sangat masam sangat menyebabkan tanah kehilangan kapasitas
tukar kation dan kemampuan menyimpan hara kation dalam bentuk dapat tukar,
karena perkembangan muatan positif. (Hardjowigeno,1993).
Senyawa-senyawa Al
monomerik dan Al –hidroksi merupakan sumber utama kemasaman dapat tukar dan
kemasaman tertitrasi pada Ultisol. Sumber-sumber lain adalah kation-kation
ampoter dapat tukar atau senyawa-senyawa hidroksinya, bahan organik dan
hidrogen dapat tukar (Lopulisa,2004).
Sifat-sifat penting
pada tanah Ultisol berkaitan dengan jumlah fosfor dan mineral-mineral resisten
dalam bahan induk, komponen-komponen ini umumya terdapat dalam jumlah yang
tidak seimbang, walupun tidak terdapat beberapa pengecualian. Ultisol yang
berkembang pada bahan induk dengan kandungan fosfor yang lebih tinggi.
Translokasi/pengangkutan liat yang ekstensif berlangsung meninggalkan residu
yang cukup untuk membentuk horizon-horison permukaan bertekstur kasar atau
sedang (Lopulisa, 2004).
Selain bahan organic
melalui proses dekomposisi dapat menyediakan nutrisi tanaman. Dekomposisi bahan
organic oleh berbagai mikroorganisme tanah berlangsung lamban akan tetapi terus
berlangsung secara beransur-ansur, keadaan demikian menyebabkan
terbebasnya fosfor dan elemen-elemen lainnya yang esensial bagi pertumbuhan
tanaman (Munir, 1996).
Cara konvensional
dengan system tebang bebas dan bakar ternyata menyebabkan pH tanah basa-basa
dapat tukar dan fosfor tersedia dalam tanah akan meningkat pada awalnya, tetapi
setelah 1,5 tahun kemudian akan mengalami penurunan, sehingga ditanami dua atau
tida tahun produktivitasnya akan menurun secara tajam (Soepardi, 1979).
Ultisol merupakan tanah
yang telah mengalami proses pelapukan lanjut melalui proses Luxiviasi dan
Podsolisasi. Ditandai oleh kejenuhan basa rendah (kurang dari 35% pada
kedalaman 1,8 m), Kapasitas Tukat Kation kurang dari 24 me per 100 gram liat,
bahan organic rendah sampai sedang, nutrisi rendah dan pH rendah (kurang dari
5,5) (Munir, 1996).
Tingkat pelapukan dan
pembentukan Ultisol berjalan lebih cepat, daerah-daerah yang beriklim humid
dengan suhu tinggi dan curah hujan tinggi menyebabkan Ultisol mempunyai
kejenuhan basa-basa rendah. Selain itu Ultisol juga mempunyai kemasaman tanah,
kejenuhan Aldd tinggi, Kapasitas Tukar Kation rendah (kurang dari 24 me per 100
gram tanah), kandungan nitrogen rendah, kandungan fosfat dan kalium tanah
rendah serta sangat peka terhadap erosi (Soepraptoharjo, 1979).
Pengaruh pemupukan
lebih lanjut pada tanah Podsolik merah kuning untuk menambah jumlah dan tingkat
ketersediaan unsure hara makro, karena telah diketahui bahwa Ultisol miskin
akan basa-basa (yang ditandai dengan kejenuhan basa kurang dari 35%) dan KTK
rendah (kurang dari 24 me per 100 gram liat) (Munir, 1996).
KTK dan jumlah kemasaman
terukur pada Ultisol sangat tergantung pada pH larutan yang digunakan dalam
penetapan, misalnya nilai terbesar dari KTK dan kemasaman umumnya diperoleh
bila penetapan dilakukan pH 8,2 sedang pada pH 7,0 dan terendah bila ditetapkan
pada pH tanah. Sumber utama KTK bergantung pH dan kemasaman mencakup hidrolisis
senyawa-senyawa Al hidroksi antar lapisan (Soepardi, 1979).
Penamaan horizon tanah
dan cirinya yaitu pada horizon O, merupakan horizon organic yang terbentuk di
atas lapisan tanah mineral, ditemukan pada tanah yang belum terganggu. Untuk
O1, bentuk asli sisa tumbuhan masih terlihat jelas, O2 bentuk asli sisa
tumbuhan tidak tampak lagi. Horizon A, horizon di permukaan tanah yang terdiri
dari campuran bahan mineral dan organic, merupakan horizon eluviasi yang telah
mengalami pencucian. Dapat di kelompokkan, A1 bahan mineral bercampur humus
dengan warna gelap; A2 tempat terjadinya pencucian maksimum terhadap liat, Fe,
Al dan bahan organic; AB horizon peralihan ke B lebih menyerupai A. Horizon B,
horizon penimbunan (illuviasi) dari berbagai bahan liat, Fe dan bahan organik.
Dikelompokkan dalam, B1 peralihan dari A ke B lebih menyerupai B, B2 horizon
penimbunan maksimum liat, Fe dan bahan organic, BC horizon peralihan ke horizon
C lebih menyerupai horizon B. Horizon C, bahan induk yang sedikit terlapuk.
Horizon D atau R, batuan keras yang belum terlapuk (Hanafiah (2005).
Warna tanah merupakan:
(1) sebagai indikator dari bahan induk untuk tanah yang beru berkembang, (2)
indikator kondisi iklim untuk tanah yang sudah berkembang lanjut, dan (3)
indikator kesuburan tanah atau kapasitas produktivitas lahan. Secara umum
dikatakan bahwa: makin gelap tanah berarti makin tinggi produktivitasnya,
selain ada berbagai pengecualian, namun secara berurutan sebagai berikut:
putih, kuning, kelabu, merah, coklat-kekelabuan, coklat-kemerahan, coklat, dan
hitam. Kondisi ini merupakan integrasi dari pengaruh: (1) kandungan bahan
organik yang berwarna gelap, makin tinggi kandungan bahan organik suatu tanah
maka tanah tersebut akan berwarna makin gelap, (2) intensitas pelindihan
(pencucian dari horison bagian atas ke horison bagian bawah dalam tanah) dari
ion-ion hara pada tanah tersebut, makin intensif proses pelindihan menyebabkan
warna tanah menjadi lebih terang, seperti pada horison eluviasi, dan (3)
kandungan kuarsa yang tinggi menyebabkan tanah berwarna lebih terang (Hanafiah
(2005).
Intensitas warna tanah
dipengaruhi tiga faktor berikut: (1) jenis mineral dan jumlahnya, (2) kandungan
bahan organik tanah, dan (3) kadar air tanah dan tingkat hidratasi..
Pencatatan warna tanah dapat menggunakan buku Munsell Soil Color Chart, sebagai contoh Tanah berwarna 7,5 YR 5/4 (coklat), yang berarti bahwa warna tanah mempunyai nilai hue = 7,5 YR, value = 5, chroma = 4, yang secara keseluruhan disebut berwarna coklat. Selanjutnya, jika ditemukan tanah dengan beberapa warna, maka semua warna harus disebutkan dengan menyebutkan juga warna tanah yang dominannya. Tekstur tanah adalah keadaan tingkat kehalusan tanah yang terjadi karena terdapatnya perbedaan komposisi kandungan fraksi pasir, debu dan liat yang terkandung pada tanah (Kartasapoetra (2002).
Pencatatan warna tanah dapat menggunakan buku Munsell Soil Color Chart, sebagai contoh Tanah berwarna 7,5 YR 5/4 (coklat), yang berarti bahwa warna tanah mempunyai nilai hue = 7,5 YR, value = 5, chroma = 4, yang secara keseluruhan disebut berwarna coklat. Selanjutnya, jika ditemukan tanah dengan beberapa warna, maka semua warna harus disebutkan dengan menyebutkan juga warna tanah yang dominannya. Tekstur tanah adalah keadaan tingkat kehalusan tanah yang terjadi karena terdapatnya perbedaan komposisi kandungan fraksi pasir, debu dan liat yang terkandung pada tanah (Kartasapoetra (2002).
BAB
III
BAHAN
DAN METODA
3.1.
Waktu dan Tempat
Praktikum Lapangan Morfologi dan
Klasifikasi Tanah ini dilakukan pada tanggal 15 Mei 2014, yang dimulai dari
pukul 7.00 Wib sampai dengan selesai. Adapun lokasi praktikum lapangan ini
adalah pada tiga lokasi yang berbeda, yaitu Sungai Sariak, Batang Ulakan, dan
Koto Baru.
3.2.
Alat dan Bahan
Adapun alat dan bahan yang digunakan
untuk mendukung keberlangsungan praktikum ini antara lain ; GPS, botol filem,
pisau komando, abney level, Muncell Soil Colour Chart, plastic untuk tempat
sampel, kamera, juknis, kertas label, pancang kayu, meteran, kertas HVS, kertas
Koran, loop, spidol permanen, kartu profil, cangkul, aquadest, dan botol air.
3.3.
Cara Kerja
Untuk cara kerja pengamatan lapangan
pada praktikum Morfologi dan Klasifikasi Tanah ini, tentu hal pertama yang
dilakukan adalah menggali lubang profil. Lubang profil yang digali harus
memenuhi kriteria untuk pengamatan profil tanah, salah satunya yaitu tanah
untuk penggalian lubang profil bukanlah tanah bekas timbunan. Kemudian
penggalian lubang profil dibuat sedalam 120 cm dengan lebar 100 cm. Untuk
mempermudah dalam pengamatan, lebar lubang profil dapat disesuaikan dengan
bentuk lahan. Kemudian setelah menggali lubang profil, kita akan mengamati
terlebih dahulu lapisan tanahnya yaitu dengan memperhatikan perbedaan warnanya,
jika perbedaan warnanya relatif sama yang mengakibatkan kesulitan dalam
melakukan pengamatan lapisan tanah, maka dapat ditempuh cara lain, yaitu dengan
menusuk-nusukkan pisau komando ke tanah yang akan kita amati untuk mengetahui
perbedaan kekerasan atau kepadatan tanahnya. Kemudian kita catat berapa
kedalaman tiap lapisannya dengan menggunakan meteran serta juga kita tentukan
batas-batas lapisan tersebut. Setelah kita mengetahui berapa lapisan tanah yang
akan kita amati, maka kita akan lanjut untuk mengamati warna tanahnya yaitu
dengan menggunakan Muncell Soil Colour Chart. Kemudian kita amati lagi
bagaimana tekstur tanahnya, kandungan bahan kasar, konsistensinya serta juga
kita mengamati apakah terdapat karatan disekitar lubang profil yang kita gali
tersebut. Dan tidak lupa juga kita mengamati pori tanah nya serta menentukan
letak fishiografi lokasi tersebut dengan menggunakan GPS. Setelah itu kita
ambil sedikit sampel tanahnya untuk selanjutnya diamati di laboratorium. Selain
itu kita juga perlu untuk mengetahui bagaimana penggunaan lahan dan
vegetasinya, informasi ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran tentang
keadaan penggunaan lahan yang telah ada pada saat kegiatan pengamatan dilakukan.
BAB
IV
HASIL
DAN PEMBAHASAN
4.1
HASIL
Berdasarkan pada praktikum yang
telah dilaksanakan, maka didapatkan hasil sebagai berikut :
a) Pengamatan
Pada Lokasi Pertama
Profil I
|
Lapisan
|
|||
I
|
II
|
III
|
IV
|
|
Dalam
lapisan
|
0-7 cm
|
7-54 cm
|
54-96 cm
|
96-120 cm
|
Batas
lapisan
|
a
|
d
|
||
Batas
topografi
|
s
|
s
|
||
Warna
|
5 YR 3/1
|
10 YR 6/8
|
10 YR 6/6
|
10 YR 5/6
|
Tekstur
|
l-si
|
cl-si
|
cl
|
Cl
|
Pori tanah :
|
||||
-makro
|
S
|
Sd
|
s
|
Sd
|
-meso
|
B
|
B
|
sd
|
B
|
-mikro
|
sd
|
S
|
b
|
Sd
|
Perakaran
|
kasar
|
Banyak
|
sedang
|
Sedikit
|
Fisiografi
|
E = 1000 24’ 37,1’
S= 00 52’
59’’
|
|||
Ketinggian
tempat
|
52 m dpl
|
|||
Epipedon
|
Okrik
|
|||
Hor.penciri
|
Argilik
|
|||
Hor.tambahan
|
Petroplintik
|
b) Pengamatan
Pada Lokasi Kedua
Profil II
|
Lapisan
|
|||
I
|
II
|
III
|
IV
|
|
Dalam
lapisan
|
0-15 cm
|
15-51 cm
|
51-69 cm
|
69-120 cm
|
Batas
lapisan
|
a
|
A
|
a
|
A
|
Batas
topografi
|
s
|
W
|
w
|
W
|
Warna
|
2½ YR 3/1
|
5 Y 4/2
|
10 YR 1,7/1
|
5 Y 5/2
|
Tekstur
|
s
|
Si
|
cl-si
|
Cl
|
Pori tanah :
|
||||
-makro
|
b
|
B
|
b
|
B
|
-meso
|
s
|
S
|
s
|
s
|
-mikro
|
sd
|
Sd
|
sd
|
sd
|
Perakaran
|
halus
|
Banyak
|
sedang
|
Sedikit
|
Fisiografi
|
E = 1000
12’ 00’’ S = 000 42’
00’’
|
|||
Ketinggian
tempat
|
||||
Epipedon
|
Okrik
|
|||
Hor.penciri
|
||||
Hor.tambahan
|
Albik
|
c) Pengamatan
Pada Lokasi Ketiga
Profil III
|
Lapisan
|
||||
I
|
II
|
III
|
IV
|
V
|
|
Dalam
lapisan
|
0-13 cm
|
13-31 cm
|
31-56 cm
|
56-88 cm
|
88-120 cm
|
Batas
lapisan
|
a
|
d
|
D
|
d
|
d
|
Batas
topografi
|
s
|
s
|
S
|
s
|
s
|
Warna
|
7,5 YR 3/1
|
7,5 YR 3/2
|
7,5 YR 5/3
|
7,5 YR 5/3
|
7,5 YR 4/3
|
Tekstur
|
l
|
l-cl-s
|
cl-s
|
cl-s
|
cl-s
|
Kandungan
bahan kasar
|
Fe
|
B
|
Fe
|
Fe
|
|
Pori tanah :
|
|||||
-makro
|
b
|
b
|
S
|
s
|
sd
|
-meso
|
b
|
b
|
B
|
b
|
b
|
-mikro
|
sd
|
s
|
S
|
s
|
b
|
Perakaran
|
kasar
|
banyak
|
Sedang
|
sedikit
|
sedikit
|
Fisiografi
|
E = 1000
24’ 21,2’ S = 000 24’ 35,5’
|
||||
Ketinggian
tempat
|
1196 m dpl
|
||||
Epipedon
|
Okrik
|
||||
Hor.penciri
|
Kambik
|
||||
Hor.tambahan
|
Albik
|
4.2.
Pembahasan
Berdasarkan pada praktikum yang
telah dilakukan serta hasil yang telah didapatkan maka dapat diketahui bahwa ada
tiga ordo yang didapat pada saat pengamatan ini, yaitu ordo ultisol pada
pengamatan di lokasi pertama, entisol pada pengamatan di lokasi kedua serta
inceptisol pada pengamatan di lokasi ketiga. Adapun penentuan atau pengklasifikasian
tanah tersebut dibuat berdasarkan data hasil yang didapat. Pada pengamatan di
lokasi pertama, tanah tersebut diklasifikasikan kepada ordo ultisol, dimana
tanah ultisol merupakan tanah yang telah mengalami proses pelapukan lanjut
melalui proses Luxiviasi dan Podsolisasi. Ditandai oleh kejenuhan basa rendah
(kurang dari 35% pada kedalaman 1,8 m), Kapasitas Tukar Kation kurang dari 24
me per 100 gram liat, bahan organic rendah sampai sedang, nutrisi rendah dan pH
rendah (kurang dari 5,5). Pada tanah-tanah ultisol juga diketahui terjadi
penimbunan liat di horison bawah, bersifat masam, kejenuhan basa pada kedalaman
180 cm dari permukaan tanah kurang dari 35%. Padanan dengan sistem klasifikasi
lama adalah termasuk tanah Podzolik Merah Kuning, Latosol, dan Hidromorf Kelabu. Tanah ultisol memiliki horison argilik dan
berkejenuhan basa kurang dari 35% serta telah mengalami perkembangan tanah
tingkat akhir = Ultus). Nama ordo tanah Ultisol pada tata nama untuk kategori
sub ordo akan digunakan singkatan dari nama ordo tersebut, yaitu: Ult merupakan
singkatan dari ordo Ultisol. Hal ini sesuai dengan data yang didapatkan
bahwasanya pada lokasi pengamatan pertama diketahui adanya akumulasi liat dan
juga horizon pencirinya argilik. Kemudian juga diketahui pada ketiga tempat
pengamatan epipedonnya merupakan epipedon okrik dengan Ciri utama : Warna tanah
terang , value > 5.5/ kering / atau > 3.5/ lembab / Kandungan bahan
organik < 1%. Struktur tanah keras atau sangat keras dan pejal jika kering
dan mengalami kekeringan lebih dari 3 bulan. Berbeda dengan hasil pengamatan di
lokasi pertama, pada lokasi kedua diketahui bahwa tanah ini merupakan tanah
dengan ordo entisol dimana Tanah yang termasuk ordo Entisol merupakan
tanah-tanah yang masih sangat muda yaitu baru tingkat permulaan dalam perkembangan.
Tidak ada horison penciri lain kecuali epipedon ochrik, albik atau histik. Kata
Ent berarti recent atau baru. Padanan dengan sistem klasifikasi lama adalah
termasuk tanah Aluvial atau Regosol. Hal ini juga sesuai dengan data yang
didapatkan bahwasannya pada lokasi kedua tidak diketahui horizon pencirinya,
namun hanya diketahui epipedonnya yaitu okrik. Sedangkan pada pengamatan di
lokasi ketiga, tanah ini diklasifikasikan kepada ordo tanah inceptisol, dimana
Tanah yang termasuk ordo Inceptisol merupakan tanah muda, tetapi lebih
berkembang daripada Entisol. Kata Inceptisol berasal dari kata Inceptum yang
berarti permulaan. Umumnya mempunyai horison kambik. Tanah ini belum berkembang
lanjut, sehingga kebanyakan dari tanah ini cukup subur. Padanan dengan sistem
klasifikasi lama adalah termasuk tanah Aluvial, Andosol, Regosol, Gleihumus,
dll, dengan horizon penciri kambik. Horizon penciri kambik dicirikan dengan bertekstur
pasir bergeluh halus atau pasir bergeluh sangat halus atau pasir sangat halus,
dengan indikasi lemah horison argilik atau spodik namun dapat dibedakan dari
keduanya, misalnya berdasarkan kandungan lempungnya yang 1.2 kali lebih banyak
dari horison diatasnya.
BAB
V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Dari
pengamatan dan hasil yang telah didapatkan maka dapat disimpulkan bahwa keragaman sifat tanah
secara alamiah adalah akibat dari faktor dan proses pebentukannya mulai dari
bahan induk berkembang menjadi tanah pada berbagai kondisi lahan. Penetapan klasifikasi tanah
dilapangan sangat penting untuk mengetahui cara pengelolaan yang tepat untuk
tanah tersebut. Adapun klasifikasi tanah yang digunakan pada praktikum lapangan
Morfologi dan Klasifikasi Tanah ini adalah sistem taksonomi tanah USDA. Banyak
faktor yang mempengaruhi bentuk morfologi tanah, diantaranya bahan induk, iklim
di daerah tersebut, kemiringan, fishiografi lahan, serta kandungan bahan
organiknya. Pada praktikum ini juga dilakukan pengamatan warna tanah yang
berguna untuk (1)
sebagai indikator dari bahan induk untuk tanah yang beru berkembang, (2)
indikator kondisi iklim untuk tanah yang sudah berkembang lanjut, dan (3)
indikator kesuburan tanah atau kapasitas produktivitas lahan.
5.2. Saran
Adapun saran yang dapat penulis sampaikan pada praktikum
Morfologi dan Klasifikasi Tanah ini adalah semoga untuk kedepannya dalam setiap
pengamatan di lapangan praktikan lebih serius untuk melakukan pengamatan agar
hasil yang didapatkan maksimal dan data yang didapatkan akurat.
DAFTAR
PUSTAKA
Adiwiganda, 1998. Pengapuran. Makassar : Universitas Hasanuddin Press
Buckman. 1982. Pengelolaan kesuburan tanah. Jakarta : Bumi Aksara
Foth. 1994. Klasifikasi Tanah Pertanian. Jakarta :
Grafindo
Hakim,dkk. 1986. Pengapuran dan pemupukan. Lampung :
Universitas Lampung
Hanafiah. 2005. Sifat dan Morfologi Tanah. Jakarta :
Erlangga
Hardjowigeno, 2003. Kesuburan tanah dan pemupukan. Jakarta : Grafindo
Kartasapoetra. 2002. Pengapuran tanah pertanian. Yogyakarta :
Penerbit Kansius
Kurnia. 2004. Klasifikasi Tanah Pertanian. Jakarta : Bumi
Aksara
Lopulisa. 2004. Morfologi Tanah. Bandung : IPB Press
Munir, 1996. Pengaruh Lahan Terhadap Morfologi Tanah. Jambi : Universita Jambi
Musa. 2006. Pengapuran tanah pertanian. Yogyakarta :
Penerbit Kansius
Sarief. 1985. C-Organik. Jakarta : Grafindo
Sarwono, 2010. Kesuburan tanah dan pemupukan. Jakarta :
Erlangga
Soepardi, 1979. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Jakarta
Soepraptoharjo, 1979. Telaah Kesuburan Tanah. Bandung :
Angkasa
Tan. 1996. Kesuburan
dan Pemupukan Tanah Pertanian. Bandung : Pustaka Buana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar