Senin, 09 Juni 2014

Laporan Praktikum Morfologi dan Klasifikasi Tanah



LAPORAN PRAKTIKUM
MORFOLOGI DAN KLASIFIKASI TANAH




NAMA                                   :  RASYID TOBING
NO. BP                                   :  1210212078
KELAS                                  :  Agro
ASISTEN                               :  Dino Febi Pratama
PENJAB PRAKTIKUM     :  Dr. Juniarti, SP, MP




PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2014









KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Praktikum Morfologi dan Klasifikasi Tanah. Tidak lupa shalawat beriring salam penulis kirimkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman kebodohan sampai ke zaman yang berilmu pengetahuan seperti yang kita rasakan pada saat ini.
Selesainya laporan ini tidak terlepas dari bimbingan dan bantuan dari dosen dan asisten Morfologi dan Klasifikasi Tanah serta bantuan moril dan doa dari keluarga serta partisipasi dari teman-teman praktikan lainnya. Atas semuanya penulis ucapkan terima kasih.
Penulis juga berharap laporan ini dapat bermanfaat bagi penulis terutama dan bagipara pembaca nantinya. Jika terdapat kesalahan dan kekurangan yang ada pada Laporan Morfologi dan Klasifikasi Tanah ini, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Dari itu semua, penulis meminta kepada pembaca atas kritik dan sarannya agar laporan ini dapat mencapai kesempurnaan. Atas kritik dan sarannya penulis ucapkan terima kasih.



Padang,  05 Juni 2014

                                                                                                                                    Penulis



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………..
DAFTAR ISI  ………………………………………………………………
BAB I     PENDAHULUAN
1.1.    Latar Belakang …………………………………………………..
1.2.    Tujuan ……………………………………………………………
BAB II    TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………..
BAB III   BAHAN DAN METODA
3.1.     Waktu dan Tempat ……………………………………………..
3.2.     Alat dan Bahan …………………………………………………
3.3.     Cara Kerja ………………………………………………………
BAB IV    HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.      Hasil ……………………………………………………………
4.2.      Pembahasan ……………………………………………………
BAB V      PENUTUP
5.1.      Kesimpulan …………………………………………………….
5.2.      Saran ……………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN







BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
            Tanah merupakan salah satu komponen terpenting dalam kehidupan di bumi ini, baik untuk bidang kehutanan, pertanian, perkebunan maupun bidang-bidang lainnya. Karena tanah sebagai media untuk tumbuh berbagai tanaman maupun pohon, selain itu tanah juga dimanfaatkan oleh manusia untuk pembangunan contoh tanah berpasir dan tanah berliat (bahan utama untuk batu bata). Selain itu, tanah dapat didefinisikan lapisan permukaan bumi yang secara fisik berfungsi sebagai tempat tumbuh & berkembangnya perakaran penopang tegak tumbuhnya tanaman dan menyuplai kebutuhan air dan udara; secara kimiawi berfungsi sebagai gudang dan penyuplai hara atau nutrisi (senyawa organik dan anorganik sederhana dan unsur-unsur esensial seperti: N, P, K, Ca, Mg, S, Cu, Zn, Fe, Mn, B, Cl); dan secara biologi berfungsi sebagai habitat biota (organisme) yang berpartisipasi aktif dalam penyediaan hara tersebut dan zat-zat aditif (pemacu tumbuh, proteksi) bagi tanaman, yang ketiganya secara integral mampu menunjang produktivitas tanah untuk menghasilkan biomassa dan produksi baik tanaman pangan, tanaman obat-obatan, industri perkebunan, maupun kehutanan.
Tanah tersusun atas empat komponen penyusunnya, yaitu: bahan padatan (berupa bahan mineral), bahan lain (berupa bahan organik, air, udara), Bahan tanah tersebut rata-rata 50%, bahan padatan (45% bahan mineral dan 5% bahan organik), 25% air dan 25% udara.
Tanah mempunyai ciri khas dan sifat-sifat yang berbeda-beda antara tanah di suatu tempat dengan tempat yang lain. Sifat-sifat tanah itu meliputi fisika dan sifat kimia. Beberapa sifat fisika tanah antara lain tekstur, struktur dan kadar lengas tanah. Untuk sifat kimia menunjukkan sifat yang dipengaruhi oleh adanya unsur maupun senyawa yang terdapat di dalam tanah tersebut. Beberapa contoh sifat kimia yaitu reaksi tanah (pH), kadar bahan organik dan Kapasitas Tukar Kation (KTK).
Morfologi dan klasifikasi tanah adalah ilmu yang mempelajari proses-proses pembentukan tanah dan faktor-faktor pembentuknya, klasifikasi tanah, serta penggunaan klasifikasi tanah, serta penggunaan klasifikasi dalam survai tanah. Dalam praktikum kali ini akan mengklasifikasi tanah berdasarkan profil tanah yang diamati secara langsung dilapangan. Profil tanah adalah penampang vertikal dari tanah yang menunjukan susunan horizon tanah.
Dinamika dan evolusi alam ini terhimpun dalam definisi  bahwa tanah adalah bahan mineral yang tidak padat (unconsoildated) terletak di permukaan bumi, yang telah dan akan tetap mengalami perlakuan dan dipengaruhi oleh faktor-faktor  genetik dan lingkungan yang meliputi bahan induk, iklim (termasuk kelembaban dan suhu), organisme (makro dan mikro) dan topografi pada suatu priode waktu tertentu. Satu ciri pembeda utama adalah tanah ini secara fisik, kimiawi dan biologis,  serta ciri–ciri lainnya umumnya berbeda di banding bahan induknya, yang variasinya tergantung pada faktor-faktor pembentuk tanah, jenis- jenis tanah serta horizon–horizon tanah tersebut.
Secara vertikal tanah berdifferensiasi membentuk horizon-horizon (lapisan-lapisan) yang berbeda - beda baik dalam morfologis seperti ketebalan dan warnanya, maupun karakteristik kimia, fisik dan biologis masing-masing.
Sifat morfologi tanah adalah sifat-sifat tanah yang dapat diamati dan dipelajari di lapang. Sebagian dari sifat-sifat morfologi tanah merupakan sifat-sifat fisik dari tanah tersebut. Batas suatu horison dengan horison yang lainnya dalam suatu profil tanah dapat terlihat jelas atau baur. Tanah terbentuk dari pencampuran komponen penyusun tanah yang bersifat heterogen dan beraneka. Ada 4 komponen utama penyusun tanah mineral yang tidak dapat dipisahkan dengan pengamatan mata telanjang. Komponen tanah tersebut dipilah menjadi tiga fase penyusun tanah, yakni: (1) fase padat : bahan mineral dan bahan organik; (2) fase cair : lengas tanah dan air tanah; serta (3) fase gas : udara tanah. komposisi tanah berdasarkan volume tanah, masing-masing komponen hanya perkiraan (% volume). Komponen mineral adalah semua jenis bahan padat hasil pelapukan batuan induk, termasuk mineral primer, mineral sekunder, dan bahan amorf yang mempunyai bermacam-macam ukuran dan komposisi. (1) ukuran : pasir (2000-50 µm), debu (50-2 µm), dan lempung (< 2 µm). (2) komposisi mineralogi : (a) pasir/debu : feldspar, kuarsa, hornblende, biotit, dan lain-lain; (b) lempung : kaolinit, monmorillonit, illit, bentonit; (c) amorf : alofan, imogolit, dan oksida. Komponen organic terdiri atas fauna dan flora tanah, perakaran tanaman, serta hasil dekomposisi/peruraian sisa vegetasi atau hewan sebagai hasil kegiatan mikroorganisme sehingga selalu terjadi alihrupa komponen tanah.
Morfologi tanah adalah sifat tanah yang dapat diamati dan dipelajari di lapang yang menunjukan profil tanah kearah dalam. Sebagian sifat morfologi tanah merupakan sifat- sifat fisik dari tanah tersebut. Hal ini penting untuk diamati karena akar tanaman berjangkar ditempat tersebut. Semakin baik akar berjangkar pada umumnya pertumbuhan tanaman semakin baik dan sebaliknya.Sifat morfologi tanah bisa sangat menentukan pertumbuhan tanaman misalnya ketebalan top soil,kedalaman efektif, batas horizon tanah, warna tanah, tekstur, struktur tanah serta tingkat perkembangan struktur tanah, perakaran, relief, lereng, fisiografi tanah. Dari sifat- sifat morfologi tersebut tergambar potensi tanah untuk digunakan sebagai media tumbuh tanaman.
Klasifikasi tanah memiliki berbagai versi. Terdapat kesulitan teknis dalam melakukan klasifikasi untuk tanah karena banyak hal yang memengaruhi pembentukan tanah. Selain itu, tanah adalah benda yang dinamis sehingga selalu mengalami proses perubahan. Tanah terbentuk dari batuan yang aus/lapuk akibat terpapar oleh dinamika di lapisan bawah atmosfer, seperti dinamika iklim, topografi/geografi, dan aktivitas organisme biologi. Intensitas dan selang waktu dari berbagai faktor ini juga berakibat pada variasi tampilan tanah.
Dalam melakukan klasifikasi tanah para ahli pertama kali melakukannya berdasarkan ciri fisika dan kimia, serta dengan melihat lapisan-lapisan yang membentuk profil tanah. Selanjutnya, setelah teknologi jauh berkembang para ahli juga melihat aspek batuan dasar yang membentuk tanah serta proses pelapukan batuan yang kemudian memberikan ciri-ciri khas tertentu pada tanah yang terbentuk.
Berdasarkan kriteria itu, ditemukan banyak sekali jenis tanah di dunia. Untuk memudahkannya, seringkali para ahli melakukan klasifikasi secara lokal. Untuk Indonesia misalnya dikenal sistem klasifikasi Dudal-Soepraptohardjo (1957-1961) yang masih dirujuk hingga saat ini di Indonesia untuk kepentingan pertanian, khususnya dalam versi yang dimodifikasi oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimatologi (Puslittanak) pada tahun 1978 dan 1982.
Pada tahun 1975 dirilis sistem klasifikasi USDA (Departemen Pertanian AS). Sistem ini dibuat karena sistem-sistem klasifikasi lama saling tumpang tindih dalam penamaan akibat perbedaan kriteria. Dalam pemakaiannya, sistem USDA memberikan kriteria yang jelas dibandingkan sistem klasifikasi lain, sehingga sistem USDA ini biasa disertakan dalam pengklasifikasian tanah untuk mendampingi penamaan berdasarkan sistem FAO atau PPT (Pusat Penelitian Tanah). Kelemahan dari sistem ini, khususnya untuk negara berkembang, adalah kriterianya yang sangat mendasarkan pada analisis laboratorium yang rinci, sehingga para praktisi sulit untuk mendefinisikan langsung di lapangan. Walaupun demikian, sistem USDA sangat membantu karena memakai sistem penamaan yang konsisten.
Untuk komunikasi di antara para ahli tanah dunia, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) telah mengembangkan sistem klasifikasi tanah pula sejak 1974. Pada tahun 1998 kemudian disepakati dipakainya sistem klasifikasi WRB dari World Reference Base for Soil Resources, suatu proyek bentukan FAO, untuk menggantikan sistem ini. Versi terbaru dari sistem WRB dirilis pada tahun 2007.
1.2. Tujuan
            Mengamati dan mendeskripsi secara langsung profil tanah dan sifat fisik tanah di lapangan serta mengklasifikasikan jenis tanah.











BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Keragaman sifat tanah secara alamiah adalah akibat dari faktor dan proses pebentukannya mulai dari bahan induk berkembang menjadi tanah pada berbagai kondisi lahan. Sehubungan dengan tingginya keragaman tanah tersebut maka informasi yang lebih objektif tentang kesuburan tanah sangat diperlukan untuk lebih mengarahkan pengelolaan tanahnya. Tanah yang subur akan memiliki nilai status kesuburan yang tinggi, sehingga upaya pemeliharaannya akan dapat dilakukan secara mudah, sedangkan pada tanah kurus nilai kesuburannya yang rendah akan memerlukan pemeliharaan yang lebih intensif (Adiwiganda, 1998).
Entisol adalah tanah yang cenderung untuk berasal baru. Tanah ini ditandai dengan kemudaannya dan tidak adanya horizon genesis alami atau hanya mempunyai permulaan horizon. Konsep pusat Entisol adalah tanah di dalam regolith yang dalam atau bumi tanpa horizon kecuali barangkali suatu lapisan bajak. Akan tetapi, beberapa Entisol mempunyai horizon plagen, agrik atau albik, dan beberapa mengandung batu keras yang dekat dengan permukaan (Foth, 1994).
Entisol adalah tanah yang muda (belum berkembang) dan dangkal, dicirikan oleh profil A/C atau A/R. Tanah ini masih belum sempurna dan memiliki profil yang horizon B-nya belum berkembang. Tanah tidak memiliki banyak horizon hanya berupa lapisan-lapisan tanah, karena beberapa alasan seperti waktu pembentukannya masih baru, berada pada lereng atau pada slope yang tererosi, menerima deposit (endapan) banjir, dan sebagainya. Sebagai contoh tanah-tanah endapan sepanjang sungai, tanah berpasir lepas di lereng atas dan bawah, daerah volkan atau tanah pasir pantai laut yang lepas dan belum membentuk struktur tanah (Musa, dkk, 2006).
Sifat morfologi tanah adalah sifat-sifat tanah yang dapat diamati dan dipelajari di lapangan. Sebagian sifat dari morfologi tanah merupakan sifat – sifat fisik dari tanah tersebut (Sarwono,2010).
Beberapa Inceptisol terdapat dalam keseimbangan dengan lingkungan dan tidak akan matang bila lingkungan tidak berubah. Beberapa inceptisol yang lain telah dapat diduga arah perkembangannya apakah ke ultisol, alfisol, atau tanah-tanah yang lain (Hardjowigeno, 2003)
Inceptisol adalah tanah-tanah yang kecuali dapat memilki epipedon okrik dan horizon albik seperti yang dimilki tanah entisol juga mempunyai beberapa sifat penciri lain (misalnya horizon kambik) tetapi belum memenuhi syarat bagi ordo tanah yang lain (Hardjowigeno, 2007).
Salah satu penciri terpenting bagi inceptisol adalah ditemukannya horizon kambik pada kedalaman kurang lebih 100 cm. Apabila horizon kambik tidak ditemukan, tanah dapat diklasifikasikan juga sebagai inceptisol bila mempunyai horizon klasik, petroklasik, duripan (Munir, M.1996).
Tanah Entisol merupakan tanah yang relatif kurang menguntungkan untuk pertumbuhan tanaman, sehingga perlu upaya untuk meningkatkan produktivitasnya dengan jalan pemupukan. Sistem pertanian konvensional selama ini menggunakan pupuk kimia dan pestisida yang makin tinggi takarannya. Peningkatan takaran ini menyebabkan terakumulasinya hara yang berasal dari pupuk/pestisida di perairan maupun air tanah, sehingga mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan. Tanah sendiri juga akan mengalami kejenuhan dan kerusakan akibat masukan teknologi tinggi tersebut. Atas latar belakang tersebut mulai dikembangkan sistem pertanian organik yang dahulu telah lama dilakukan oleh nenek moyang kita. Beberapa petani di Sleman dan Magelang telah melakukannya, sementara yang lain belum tertarik karena belum mengetahui manfaatnya terutama terhadap perbaikan sifat tanah (Foth, 1994).
Pada umumnya kandungan BO rendah sehingga memerlukan input yang cukup tinggi. Daerah penyebarannya di daerah tipe Afa-ama (menurut K Koppen). Menurut Schimidt Ferguson pada tipe hujan A, B, dan C dengan curah hujan 2000-7000 m/th, tanpa mempunyai bulan kering yang kurang dari 3 bulan. Tanah ini terletak di daerah abutuf dan vulkan, pada ketinggian 10-10.000 m dpl (Sarief, 1985). 
Tanah regosol/entisol tidak ditentukan oleh iklim atau pembentukan tanah khusus, tetapi oleh sifat bahan induknya. Tanah ini biasa dijumpai pada lereng yang curam, perkembangannya lemah umumnya kurang berarti untuk pertanian. Tanah ini terdapat di atas endapan mineral lunak yang dalam dan tidak berbatu besar, sebagian besar didaerah gumuk loess dan glasial yang lerengnya curam (Buckman, 1982).
Di Indonesia tanah Entisol banyak diusahakan untuk areal persawahan baik sawah teknis maupun tadah hujan pada daerah dataran rendah. Tanah ini mempunyai konsistensi lepas-lepas, tingkat agregasi rendah, peka terhadap erosi dan kandungan hara tersediakan rendah.Potensi tanah yang berasal dari abu vulkan ini kaya akan hara tetapi belum tersedia, pelapukan akan dipercepat bila terdapat cukup aktivitas bahan organik sebagai penyedia asam-asam organik  (Tan, 1986).
Inceptisols adalah tanah yang belum matang (immature) dengan perkembangan profil  yang  lebih  lemah  dibanding  dengan  tanah  matang,  dan  masih  banyak menyerupai sifat bahan induknya. Penggunaan Inceptisolss untuk pertanian atau nonpertanian adalah beraneka ragam. Daerah-daerah yang berlereng curam atau hutan, rekreasi atau wildlife, yang berdrainase buruk hanya untuk tanaman pertanian setelah drainase diperbaiki (Hardjowigeno, 1993).
Salah satu penciri terpenting bagi inceptisol adalah ditemukannya horizon kambik pada kedalaman kurang lebih 100 cm. Apabila horizon kambik tidak ditemukan, tanah dapat diklasifikasikan juga sebagai inceptisol bila mempunyai horizon klasik, petroklasik, duripan. Apabila tidak diketemukan horizon maka tanah tersebut bukan termasuk dalam ciri-ciri inceptisol (Kurnia, 2004).
Inceptisols yang banyak dijumpai pada tanah sawah memerlukan masukan yang tinggi baik untuk masukan anorganik (pemupukan berimbang N, P, dan K) maupun masukan organik  (pencampuran  sisa panen kedalam tanah  saat  pengolahan tanah, pemberian pupuk kandang atau pupuk hijau) terutama bila tanah sawah dipersiapkan untuk tanaman palawija setelah padi. Kisaran kadar C-Organik dan kapasitas pertukaran kation  (KPK)  dalam  Inceptisols  dapat  terbentuk  hampir  di  semua  tampat,  kecuali daerah kering, mulai dari kutub sampai tropika (Munir, 1996).
Inceptisols dapat dibedakan berdasarkan great groupnya. Salah satu great group dari Inceptisols adalah Tropaquepts. Tropaquepts adalah great group dari ordo tanah Inceptisols dengan sub ordo Aquept  yang memiliki regim suhu tanah isomesik atau lebih panas.  Aquept  merupakan tanah-tanah  yang  mempunyai rasio  natrium dapat tukar (ESP) sebesar 15 persen atau lebih (atau rasio adsorpsi natrium, (SAR) sebesar 13 persen atau lebih pada setengah atau lebih volume tanah di dalam 50 cm dari permukaan tanah mineral (Foth, 1991).
Inceptisols adalah tanah-tanah yang kecuali dapat memilki epipedon okrik dan horizon albik seperti yang dimilki tanah Entisols juga mempunyai beberapa sifat penciri lain (misalnya horizon kambik) tetapi belum memenuhi syarat bagi ordo tanah yang lain. Beberapa Inceptisols terdapat dalam keseimbangan dengan lingkungan dan tidak akan matang bila lingkungan tidak berubah. Beberapa Inceptisols yang lain telah dapat diduga arah perkembangannya apakah ke ultisols, Alfisols, atau tanah-tanah yang lain (Hardjowigeno, 2003).
Salah satu penciri terpenting bagi Inceptisols adalah ditemukannya horizon kambik pada kedalaman kurang lebih 100 cm. Apabila horizon kambik tidak ditemukan, tanah dapat diklasifikasikan juga sebagai Inceptisols bila mempunyai horizon klasik, petroklasik, duripan. Apabila tidak diketemukan horizon maka tanah tersebut bukan termasuk dalam ciri-ciri Inceptisols (Munir, M.1996).
Tanah Ultisol memiliki kemasaman kurang dari 5,5 sesuai dengan sifat kimia, komponen kimia tanah yang berperan terbesar dalam menentukan sifat dan ciri tanah umumnya pada kesuburan tanah. Nilai pH yang mendekati minimun dapat ditemui sampai pada kedalaman beberapa cm dari dari batuan yang utuh (belum melapuk). Tanah-tanah ini kurang lapuk atau pada daerah-daerah yang kaya akan basa-basa dari air tanah pH meningkat pada dan di bagian lebih bawah solum (Hakim,dkk. 1986).
Tanah Ultisol sering diidentikkan dengan tanah yang tidak subur, tetapi sesungguhnya bisa dimanfaatkan untuk lahan pertanian potensial, asalkan dilakukan pengelolaan yang memperhatikan kendala (constrain) yang ada pada Ultisol ternyata dapat merupakan lahan potensial apabila iklimnya mendukung. Tanah Ultisol memiliki tingkat kemasaman sekitar 5,5  (Munir, 1996).
Untuk meningkatkan produktivitas Ultisol, dapat dilakukan melalui pemberian kapur, pemupukan, penambahan bahan organik, penanaman tanah adaptif, penerapan tekhnik budidaya tanaman lorong (atau tumpang sari), terasering, drainase dan pengolahan tanah yang seminim mungkin. Pengapuran yang dimaksudkan untuk mempengaruhi sifat fisik tanah, sifat kimia dan kegiatan jasad renik tanah. Pengapuran pada Ultisol di daerah beriklim humid basah seperti di Indonesia tidak perlu mencapai pH tanah 6,5 (netral), tetapi sampai pada pH 5,5 sudah dianggap baik sebab yang terpenting adalah bagaimana meniadakan pengaruh meracun dari aluminium dan penyediaan hara kalsium bagi pertumbuhan tanaman (Hakim,dkk, 1986).
Tanah ini umumnya berkembang dari bahan induk tua. Di Indonesia banyak ditemukan di daerah dengan bahan induk batuan liat. Tanah ini merupakan bagian terluas dari lahan kering di Indonesia yang belum dipergunakan untuk pertanian. Problem tanah ini adalah reaksi masam, kadar Al tinggi sehingga menjadi racun tanaman dan menyebabkan fiksasi P, unsure hara rendah, diperlukan tindakan pengapuran dan pemupukan, keadaan tanah yang sangat masam sangat menyebabkan tanah kehilangan kapasitas tukar kation dan kemampuan menyimpan hara kation dalam bentuk dapat tukar, karena perkembangan muatan positif. (Hardjowigeno,1993).
Senyawa-senyawa Al monomerik dan Al –hidroksi merupakan sumber utama kemasaman dapat tukar dan kemasaman tertitrasi pada Ultisol. Sumber-sumber lain adalah kation-kation ampoter dapat tukar atau senyawa-senyawa hidroksinya, bahan organik dan hidrogen dapat tukar (Lopulisa,2004).
Sifat-sifat penting pada tanah Ultisol berkaitan dengan jumlah fosfor dan mineral-mineral resisten dalam bahan induk, komponen-komponen ini umumya terdapat dalam jumlah yang tidak seimbang, walupun tidak terdapat beberapa pengecualian. Ultisol yang berkembang pada bahan induk dengan kandungan fosfor yang lebih tinggi. Translokasi/pengangkutan liat yang ekstensif berlangsung meninggalkan residu yang cukup untuk membentuk horizon-horison permukaan bertekstur kasar atau sedang (Lopulisa, 2004).
Selain bahan organic melalui proses dekomposisi dapat menyediakan nutrisi tanaman. Dekomposisi bahan organic oleh berbagai mikroorganisme tanah berlangsung lamban akan tetapi terus berlangsung secara beransur-ansur, keadaan demikian  menyebabkan terbebasnya fosfor dan elemen-elemen lainnya yang esensial bagi pertumbuhan tanaman (Munir, 1996).
Cara konvensional dengan system tebang bebas dan bakar ternyata menyebabkan pH tanah basa-basa dapat tukar dan fosfor tersedia dalam tanah akan meningkat pada awalnya, tetapi setelah 1,5 tahun kemudian akan mengalami penurunan, sehingga ditanami dua atau tida tahun produktivitasnya akan menurun secara tajam (Soepardi, 1979).
Ultisol merupakan tanah yang telah mengalami proses pelapukan lanjut melalui proses Luxiviasi dan Podsolisasi. Ditandai oleh kejenuhan basa rendah (kurang dari 35% pada kedalaman 1,8 m), Kapasitas Tukat Kation kurang dari 24 me per 100 gram liat, bahan organic rendah sampai sedang, nutrisi rendah dan pH rendah (kurang dari 5,5) (Munir, 1996).
Tingkat pelapukan dan pembentukan Ultisol berjalan lebih cepat, daerah-daerah yang beriklim humid dengan suhu tinggi dan curah hujan tinggi menyebabkan Ultisol mempunyai kejenuhan basa-basa rendah. Selain itu Ultisol juga mempunyai kemasaman tanah, kejenuhan Aldd tinggi, Kapasitas Tukar Kation rendah (kurang dari 24 me per 100 gram tanah), kandungan nitrogen rendah, kandungan fosfat dan kalium tanah rendah serta sangat peka terhadap erosi (Soepraptoharjo, 1979).
Pengaruh pemupukan lebih lanjut pada tanah Podsolik merah kuning untuk menambah jumlah dan tingkat ketersediaan unsure hara makro, karena telah diketahui bahwa Ultisol miskin akan basa-basa (yang ditandai dengan kejenuhan basa kurang dari 35%) dan KTK rendah (kurang dari 24 me per 100 gram liat) (Munir, 1996).
KTK dan jumlah kemasaman terukur pada Ultisol sangat tergantung pada pH larutan yang digunakan dalam penetapan, misalnya nilai terbesar dari KTK dan kemasaman umumnya diperoleh bila penetapan dilakukan pH 8,2 sedang pada pH 7,0 dan terendah bila ditetapkan pada pH tanah. Sumber utama KTK bergantung pH dan kemasaman mencakup hidrolisis senyawa-senyawa Al hidroksi antar lapisan (Soepardi, 1979).
Penamaan horizon tanah dan cirinya yaitu pada horizon O, merupakan horizon organic yang terbentuk di atas lapisan tanah mineral, ditemukan pada tanah yang belum terganggu. Untuk O1, bentuk asli sisa tumbuhan masih terlihat jelas, O2 bentuk asli sisa tumbuhan tidak tampak lagi. Horizon A, horizon di permukaan tanah yang terdiri dari campuran bahan mineral dan organic, merupakan horizon eluviasi yang telah mengalami pencucian. Dapat di kelompokkan, A1 bahan mineral bercampur humus dengan warna gelap; A2 tempat terjadinya pencucian maksimum terhadap liat, Fe, Al dan bahan organic; AB horizon peralihan ke B lebih menyerupai A. Horizon B, horizon penimbunan (illuviasi) dari berbagai bahan liat, Fe dan bahan organik. Dikelompokkan dalam, B1 peralihan dari A ke B lebih menyerupai B, B2 horizon penimbunan maksimum liat, Fe dan bahan organic, BC horizon peralihan ke horizon C lebih menyerupai horizon B. Horizon C, bahan induk yang sedikit terlapuk. Horizon D atau R, batuan keras yang belum terlapuk (Hanafiah (2005).
Warna tanah merupakan: (1) sebagai indikator dari bahan induk untuk tanah yang beru berkembang, (2) indikator kondisi iklim untuk tanah yang sudah berkembang lanjut, dan (3) indikator kesuburan tanah atau kapasitas produktivitas lahan. Secara umum dikatakan bahwa: makin gelap tanah berarti makin tinggi produktivitasnya, selain ada berbagai pengecualian, namun secara berurutan sebagai berikut: putih, kuning, kelabu, merah, coklat-kekelabuan, coklat-kemerahan, coklat, dan hitam. Kondisi ini merupakan integrasi dari pengaruh: (1) kandungan bahan organik yang berwarna gelap, makin tinggi kandungan bahan organik suatu tanah maka tanah tersebut akan berwarna makin gelap, (2) intensitas pelindihan (pencucian dari horison bagian atas ke horison bagian bawah dalam tanah) dari ion-ion hara pada tanah tersebut, makin intensif proses pelindihan menyebabkan warna tanah menjadi lebih terang, seperti pada horison eluviasi, dan (3) kandungan kuarsa yang tinggi menyebabkan tanah berwarna lebih terang (Hanafiah (2005).
Intensitas warna tanah dipengaruhi tiga faktor berikut: (1) jenis mineral dan jumlahnya, (2) kandungan bahan organik tanah, dan (3) kadar air tanah dan tingkat hidratasi..
Pencatatan warna tanah dapat menggunakan buku Munsell Soil Color Chart, sebagai contoh Tanah berwarna 7,5 YR 5/4 (coklat), yang berarti bahwa warna tanah mempunyai nilai hue = 7,5 YR, value = 5, chroma = 4, yang secara keseluruhan disebut berwarna coklat. Selanjutnya, jika ditemukan tanah dengan beberapa warna, maka semua warna harus disebutkan dengan menyebutkan juga warna tanah yang dominannya. Tekstur tanah adalah keadaan tingkat kehalusan tanah yang terjadi karena terdapatnya perbedaan komposisi kandungan fraksi pasir, debu dan liat yang terkandung pada tanah (Kartasapoetra (2002).











BAB III
BAHAN DAN METODA

3.1. Waktu dan Tempat
            Praktikum Lapangan Morfologi dan Klasifikasi Tanah ini dilakukan pada tanggal 15 Mei 2014, yang dimulai dari pukul 7.00 Wib sampai dengan selesai. Adapun lokasi praktikum lapangan ini adalah pada tiga lokasi yang berbeda, yaitu Sungai Sariak, Batang Ulakan, dan Koto Baru.

3.2. Alat dan Bahan
            Adapun alat dan bahan yang digunakan untuk mendukung keberlangsungan praktikum ini antara lain ; GPS, botol filem, pisau komando, abney level, Muncell Soil Colour Chart, plastic untuk tempat sampel, kamera, juknis, kertas label, pancang kayu, meteran, kertas HVS, kertas Koran, loop, spidol permanen, kartu profil, cangkul, aquadest, dan botol air.

3.3. Cara Kerja
            Untuk cara kerja pengamatan lapangan pada praktikum Morfologi dan Klasifikasi Tanah ini, tentu hal pertama yang dilakukan adalah menggali lubang profil. Lubang profil yang digali harus memenuhi kriteria untuk pengamatan profil tanah, salah satunya yaitu tanah untuk penggalian lubang profil bukanlah tanah bekas timbunan. Kemudian penggalian lubang profil dibuat sedalam 120 cm dengan lebar 100 cm. Untuk mempermudah dalam pengamatan, lebar lubang profil dapat disesuaikan dengan bentuk lahan. Kemudian setelah menggali lubang profil, kita akan mengamati terlebih dahulu lapisan tanahnya yaitu dengan memperhatikan perbedaan warnanya, jika perbedaan warnanya relatif sama yang mengakibatkan kesulitan dalam melakukan pengamatan lapisan tanah, maka dapat ditempuh cara lain, yaitu dengan menusuk-nusukkan pisau komando ke tanah yang akan kita amati untuk mengetahui perbedaan kekerasan atau kepadatan tanahnya. Kemudian kita catat berapa kedalaman tiap lapisannya dengan menggunakan meteran serta juga kita tentukan batas-batas lapisan tersebut. Setelah kita mengetahui berapa lapisan tanah yang akan kita amati, maka kita akan lanjut untuk mengamati warna tanahnya yaitu dengan menggunakan Muncell Soil Colour Chart. Kemudian kita amati lagi bagaimana tekstur tanahnya, kandungan bahan kasar, konsistensinya serta juga kita mengamati apakah terdapat karatan disekitar lubang profil yang kita gali tersebut. Dan tidak lupa juga kita mengamati pori tanah nya serta menentukan letak fishiografi lokasi tersebut dengan menggunakan GPS. Setelah itu kita ambil sedikit sampel tanahnya untuk selanjutnya diamati di laboratorium. Selain itu kita juga perlu untuk mengetahui bagaimana penggunaan lahan dan vegetasinya, informasi ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran tentang keadaan penggunaan lahan yang telah ada pada saat kegiatan pengamatan dilakukan.













BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 HASIL
            Berdasarkan pada praktikum yang telah dilaksanakan, maka didapatkan hasil sebagai berikut :
a)      Pengamatan Pada Lokasi Pertama
Profil I
Lapisan
I
II
III
IV
Dalam lapisan
0-7 cm
7-54 cm
54-96 cm
96-120 cm
Batas lapisan
a
d


Batas topografi
s
s


Warna
5 YR 3/1
10 YR 6/8
10 YR 6/6
10 YR 5/6
Tekstur
l-si
cl-si
cl
Cl
Pori tanah :
-makro
S
Sd
s
Sd
-meso
B
B
sd
B
-mikro
sd
S
b
Sd
Perakaran
kasar
Banyak
sedang
Sedikit
Fisiografi
E = 1000  24’ 37,1’ 
S= 00 52’ 59’’
Ketinggian tempat
52 m dpl
Epipedon
Okrik
Hor.penciri
Argilik
Hor.tambahan
Petroplintik

b)      Pengamatan Pada Lokasi Kedua
Profil II
Lapisan
I
II
III
IV
Dalam lapisan
0-15 cm
15-51 cm
51-69 cm
69-120 cm
Batas lapisan
a
A
a
A
Batas topografi
s
W
w
W
Warna
2½ YR 3/1
5 Y 4/2
10 YR 1,7/1
5 Y 5/2
Tekstur
s
Si
cl-si
Cl
Pori tanah :
-makro
b
B
b
B
-meso
s
S
s
s
-mikro
sd
Sd
sd
sd
Perakaran
halus
Banyak
sedang
Sedikit
Fisiografi
E = 1000 12’ 00’’  S = 000 42’ 00’’
Ketinggian tempat

Epipedon
Okrik
Hor.penciri

Hor.tambahan
Albik

c)      Pengamatan Pada Lokasi Ketiga
Profil III
Lapisan
I
II
III
IV
V
Dalam lapisan
0-13 cm
13-31 cm
31-56 cm
56-88 cm
88-120 cm
Batas lapisan
a
d
D
d
d
Batas topografi
s
s
S
s
s
Warna
7,5 YR 3/1
7,5 YR 3/2
7,5 YR 5/3
7,5 YR 5/3
7,5 YR 4/3
Tekstur
l
l-cl-s
cl-s
cl-s
cl-s
Kandungan bahan kasar
Fe
B

Fe
Fe
Pori tanah :
-makro
b
b
S
s
sd
-meso
b
b
B
b
b
-mikro
sd
s
S
s
b
Perakaran
kasar
banyak
Sedang
sedikit
sedikit
Fisiografi
E = 1000  24’ 21,2’  S = 000  24’ 35,5’
Ketinggian tempat
1196 m dpl
Epipedon
Okrik
Hor.penciri
Kambik
Hor.tambahan
Albik



4.2. Pembahasan
            Berdasarkan pada praktikum yang telah dilakukan serta hasil yang telah didapatkan maka dapat diketahui bahwa ada tiga ordo yang didapat pada saat pengamatan ini, yaitu ordo ultisol pada pengamatan di lokasi pertama, entisol pada pengamatan di lokasi kedua serta inceptisol pada pengamatan di lokasi ketiga. Adapun penentuan atau pengklasifikasian tanah tersebut dibuat berdasarkan data hasil yang didapat. Pada pengamatan di lokasi pertama, tanah tersebut diklasifikasikan kepada ordo ultisol, dimana tanah ultisol merupakan tanah yang telah mengalami proses pelapukan lanjut melalui proses Luxiviasi dan Podsolisasi. Ditandai oleh kejenuhan basa rendah (kurang dari 35% pada kedalaman 1,8 m), Kapasitas Tukar Kation kurang dari 24 me per 100 gram liat, bahan organic rendah sampai sedang, nutrisi rendah dan pH rendah (kurang dari 5,5). Pada tanah-tanah ultisol juga diketahui terjadi penimbunan liat di horison bawah, bersifat masam, kejenuhan basa pada kedalaman 180 cm dari permukaan tanah kurang dari 35%. Padanan dengan sistem klasifikasi lama adalah termasuk tanah Podzolik Merah Kuning, Latosol, dan Hidromorf Kelabu. Tanah ultisol memiliki horison argilik dan berkejenuhan basa kurang dari 35% serta telah mengalami perkembangan tanah tingkat akhir = Ultus). Nama ordo tanah Ultisol pada tata nama untuk kategori sub ordo akan digunakan singkatan dari nama ordo tersebut, yaitu: Ult merupakan singkatan dari ordo Ultisol. Hal ini sesuai dengan data yang didapatkan bahwasanya pada lokasi pengamatan pertama diketahui adanya akumulasi liat dan juga horizon pencirinya argilik. Kemudian juga diketahui pada ketiga tempat pengamatan epipedonnya merupakan epipedon okrik dengan Ciri utama : Warna tanah terang , value > 5.5/ kering / atau > 3.5/ lembab / Kandungan bahan organik < 1%. Struktur tanah keras atau sangat keras dan pejal jika kering dan mengalami kekeringan lebih dari 3 bulan. Berbeda dengan hasil pengamatan di lokasi pertama, pada lokasi kedua diketahui bahwa tanah ini merupakan tanah dengan ordo entisol dimana Tanah yang termasuk ordo Entisol merupakan tanah-tanah yang masih sangat muda yaitu baru tingkat permulaan dalam perkembangan. Tidak ada horison penciri lain kecuali epipedon ochrik, albik atau histik. Kata Ent berarti recent atau baru. Padanan dengan sistem klasifikasi lama adalah termasuk tanah Aluvial atau Regosol. Hal ini juga sesuai dengan data yang didapatkan bahwasannya pada lokasi kedua tidak diketahui horizon pencirinya, namun hanya diketahui epipedonnya yaitu okrik. Sedangkan pada pengamatan di lokasi ketiga, tanah ini diklasifikasikan kepada ordo tanah inceptisol, dimana Tanah yang termasuk ordo Inceptisol merupakan tanah muda, tetapi lebih berkembang daripada Entisol. Kata Inceptisol berasal dari kata Inceptum yang berarti permulaan. Umumnya mempunyai horison kambik. Tanah ini belum berkembang lanjut, sehingga kebanyakan dari tanah ini cukup subur. Padanan dengan sistem klasifikasi lama adalah termasuk tanah Aluvial, Andosol, Regosol, Gleihumus, dll, dengan horizon penciri kambik. Horizon penciri kambik dicirikan dengan bertekstur pasir bergeluh halus atau pasir bergeluh sangat halus atau pasir sangat halus, dengan indikasi lemah horison argilik atau spodik namun dapat dibedakan dari keduanya, misalnya berdasarkan kandungan lempungnya yang 1.2 kali lebih banyak dari horison diatasnya.















BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Dari pengamatan dan hasil yang telah didapatkan maka dapat disimpulkan bahwa keragaman sifat tanah secara alamiah adalah akibat dari faktor dan proses pebentukannya mulai dari bahan induk berkembang menjadi tanah pada berbagai kondisi lahan. Penetapan klasifikasi tanah dilapangan sangat penting untuk mengetahui cara pengelolaan yang tepat untuk tanah tersebut. Adapun klasifikasi tanah yang digunakan pada praktikum lapangan Morfologi dan Klasifikasi Tanah ini adalah sistem taksonomi tanah USDA. Banyak faktor yang mempengaruhi bentuk morfologi tanah, diantaranya bahan induk, iklim di daerah tersebut, kemiringan, fishiografi lahan, serta kandungan bahan organiknya. Pada praktikum ini juga dilakukan pengamatan warna tanah yang berguna untuk  (1) sebagai indikator dari bahan induk untuk tanah yang beru berkembang, (2) indikator kondisi iklim untuk tanah yang sudah berkembang lanjut, dan (3) indikator kesuburan tanah atau kapasitas produktivitas lahan.

5.2. Saran
            Adapun saran yang dapat penulis sampaikan pada praktikum Morfologi dan Klasifikasi Tanah ini adalah semoga untuk kedepannya dalam setiap pengamatan di lapangan praktikan lebih serius untuk melakukan pengamatan agar hasil yang didapatkan maksimal dan data yang didapatkan akurat.




DAFTAR PUSTAKA

Adiwiganda, 1998. Pengapuran. Makassar : Universitas Hasanuddin Press
Buckman. 1982. Pengelolaan kesuburan tanah. Jakarta : Bumi Aksara
Foth. 1994. Klasifikasi Tanah Pertanian. Jakarta : Grafindo
Hakim,dkk. 1986. Pengapuran dan pemupukan. Lampung : Universitas Lampung
Hanafiah. 2005. Sifat dan Morfologi Tanah. Jakarta : Erlangga
Hardjowigeno, 2003. Kesuburan tanah dan pemupukan. Jakarta : Grafindo
Kartasapoetra. 2002. Pengapuran tanah pertanian. Yogyakarta : Penerbit Kansius
Kurnia. 2004. Klasifikasi Tanah Pertanian. Jakarta : Bumi Aksara
Lopulisa. 2004. Morfologi Tanah. Bandung : IPB Press
Munir, 1996. Pengaruh Lahan Terhadap Morfologi Tanah. Jambi : Universita Jambi
Musa. 2006. Pengapuran tanah pertanian. Yogyakarta : Penerbit Kansius
Sarief. 1985. C-Organik. Jakarta : Grafindo
Sarwono, 2010. Kesuburan tanah dan pemupukan. Jakarta : Erlangga
Soepardi, 1979. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta
Soepraptoharjo, 1979. Telaah  Kesuburan Tanah. Bandung : Angkasa
Tan. 1996. Kesuburan dan Pemupukan Tanah Pertanian. Bandung : Pustaka Buana

        

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar